Karyawan Cerdas atau Karyawan Empatik, Pilih mana?

 

Dalam suatu perusahaan, tentu berisi banyak sekali sumber daya (karyawan) yang memiliki keahlian masing-masing, dan bahkan menjadi seorang spesialis dalam bidang yang dia tangani. Semakin ahli tentn semakin efekti dan efesien pula karyawan tersebut menyelesikan tugasnya. Untuk mendapatkan keahlian dalam suatu hal, memang mutlak diperlukan suaut usaha yang terus menerus, fokus serta daya tahan yang baik ketika harus mendalami bidang tersebut dalam waktu yang tidak sebentar.

Seorang karyawan dituntut mampu bertahan dalam suatu sulit, memecahkan pelbagai permasalahan dengan menenumkan solusinya. Tidak menutup kemungkinan akan banyak mengalami kesulitan dan kegagalan, dan dituntut untuk selalu belajar dan berkembang.

Ada sebagian karyawan yang cepat  dan mudah dalam menguasai suatu bidang dan menjadi ahli pada bidang tersebut, namun ada pula yang cenderung agak lama bahkan mengalami kesulitan. Bagaimanapun usaha dalam menguasai suatu bidang, sedikit banyak memang dipengaruhi tingkat intelegensia seseorang, walaupun memang itu bukan faktor determinan.

Dalam meniti karir, intelegensi yang tinggi menjadi suatu benefit tersendiri bagi seorang karyawan. Dia cepat belajar dan berkembang. Namun, perlu dibarengi dengan kecenderungan kepribadian yang mendukung pula. Bagaimana maksudnya?

Banyak penelitian yang menyatakan bahwa, dalam mencapai kesuksesan seseorang, tidak melulu faktor intelegensi (IQ) tinggi semata. Namun faktor yang paling memengaruhi adalah faktor intelegensi secara emosional (EQ). Sebelum satu dekade terakhir ini, banyak yang percaya bahwa yang paling menentukan adalah IQ,namun sekarang pandangan itu terbantahkan, bahwa EQ yang memegang andil besar dalam menentukan karir seseorang.

Terdapat satu karyawan yang cerdas, cepat belajar,dan mampu mengkonseptualisasikan suatu ide menjadi terobosan yang cemerlang. Dia menunjukkan prestasi yang nyata dalam pekerjaannya.  Terdapat pula satu orang karyawan yang memang secara intelegensi termasuk yang normal-normal saja, dan performanya tak sebaik dengan karyawan yang pertama. Namun dibalik kekurangan itu,karyawan ini memiliki suatu rasa kepedulian yang tinggi, senang membantu, empatik, dan mampu membawa diri dalam suatu lingkungan dan menyesuaikannya. Sehingga banyak orang yang menyukainya dan senang bekerja sama dengan dia.

Lain halnya dengan karyawan yang pertama. Dia memang cerdas, namun cenderung senang bekerja secara individual, kurang begitu senang bergaul, penyendiri, dan terkadang acuh bahkan sulit diajak bekerja sama. Karena dalam dirinya menyakini bahwa dengan dia sendiri dalam menyelesaikan tugas dengan baik, dan mampu mengoptimalkan kinerja perusahaan.

Kedua karyawan tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangannya. Sebagai seorang HRD, apabila ditugaskan untuk memilihi satu dari kedua karyawan tersebut untuk dipromosikan, mana yang akan didahulukan?

Akan menjadi suatu dilema tersendiri dalam penentuannya. Bila tidak cermat serta kurang pertimbangan yang matang, tentu menjadi blunder yang cukup fatal. Memang dalam suatu rangkaian promosi jabatan akan terdapat semacam fit and propertes di samping assesment individual. Dalam merencanakannya pun mengacu pada jabatan yang akan diisi, berikut tanggung jawab dan job describtion-nya. Jadi akan sangat membantu dalam memilih siapa karyawan yang cocok untuk mengisi jabatan tersebut.

Akan berbeda ketika semisal kedua karyawan tersebut dinyatakan cocok dan dianggap layak untuk dipromosikan. Butuh pertimbangan lebih dari sekedar hasil assessment semata. Harus ada pertimbangan diluar itu semua, semisal seperti dampak yang timbul ketika salah satu karyawan terpilih dikarenakan kecenderungan mereka masing-masing.

Apakah karyawan pertama akan merubah pola kerjasama tim yang akan dibawahinya, dan menonjolkan performa individual, atau karyawan kedua yang akan semakin mengikat kerjasama tim dan lebih mengutamakan kebersamaan?

Pada hakekatnya, lebih sulit ketika hendak membentuk atau merubah kecenderungan kepribadian seseorang daripada membentuk keterampilan seseorang yang dari awal tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Mengajari seseorang yang berkepribadian lebih baik akan terasa mustahil daripada seseorang mengajari suatu ilmu atau keterampilan tertentu.

Untuk menjadi lebih tahu dan lebih terampil tidak membutuhkan waktu yang lama, sepanjang konsisten dan sungguh-sungguh dalam belajar. Namun untuk menjadi orang yang memiliki kepribadian yang baik dan adaptif akan sangat membutuhkan waktu yang panjang, dan perlu  kesabaran yang lebih, karena bukan hanya konsistensi yang memengaruhi, tapi juga kesedian orang tersebut untuk berubah atau tidak.

Sebenarnya bukan masalah apakah karyawan pertama atau yang kedua yang dipilih untuk dipromosikan. Akan menjadi masalah ketika siapa yang dipilih nanti tidak mampu membawa perubahan yang diharapkan, bahkan mengalami degradasi kinerja dan tidak sesuai dengan yang diekspetasikan.

Terkadang menjadi seorang HRD, juga harus merangkap sebagai seorang ‘peramal’. ‘Peramal’ yang memungkinkan bisa memprediksikan perilaku karyawan di masa yang akan datang, berdasarkan kencenderungan mereka masing-masing dan pola perilaku mereka. Tak jarang tidak hanya melibatkkan hasil tes maupun pengetahuan dan pengalaman, namun juga melibatkan rasa, kesesuaian dan dampak keseluruhan yang ditimbulkan. Tidak mudah memang, namun harus tetap diputuskan.  Jadi, karyawan cerdas atau karyawan empatik, pilih yang mana?